info SRAGEN
Kliping Internet 0319
Selasa, 22 Juni 2010
Kabupaten Sragen
Kabupaten Sragen, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya terletak di Sragen, sekitar 30 km sebelah timur Kota Surakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Grobogan di utara, Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Karanganyar di selatan, serta Kabupaten Boyolali di barat.
Kabupaten ini sebelumnya bernama Sukowati, nama yang digunakan sejak masa kekuasaan Kerajaan (Kasunanan) Surakarta. Nama Sragen dipakai karena pusat pemerintahan berada di Sragen.
Kawasan Sangiran merupakan tempat ditemukannya fosil manusia purba dan binatang purba, yang sebagian disimpan di Museum Fosil Sangiran.
Sejarah
Hari Jadi Kabupaten Sragen ditetapkan dengan Perda Nomor : 4 Tahun 1987, yaitu pada hari Selasa Pon, tanggal 27 Mei 1746. tanggal dan waktu tersebut adalah dari hasil penelitian serta kajian pada fakta sejarah, ketika Pangeran Mangkubumi yang kelak menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono yang ke- I menancapkan tonggak pertama melakukan perlawanan terhadap Belanda menuju bangsa yang berdaulat dengan membentuk suatu Pemerintahan lokal di Desa Pandak, Karangnongko masuk tlatah Sukowati sebelah timur.
Kronologi dan Prosesi
Pangeran Mangkubumi adik dari Sunan Pakubuwono II di Mataram sangat membenci Kolonialis Belanda. Apalagi setelah Belanda banyak mengintervensi Mataram sebagai Pemerintahan yang berdaulat. Oleh karena itu dengan tekad yang menyala bangsawan muda tersebut lolos dari istana dan menyatakan perang dengan Belanda. Dalam sejarah peperangan tersebut, disebut dengan Perang Mangkubumen ( 1746 - 1757 ). Dalam perjalanan perangnya Pangeran Muda dengan pasukannya dari Keraton bergerak melewati Desa-desa Cemara, Tingkir, Wonosari, Karangsari, Ngerang, Butuh, Guyang. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Desa Pandak, Karangnongko masuk tlatah Sukowati.
Di Desa ini Pangeran Mangkubumi membentuk Pemerintahan Pemberontak. Desa Pandak, Karangnongko di jadikan pusat Pemerintahan Projo Sukowati, dan Beliau meresmikan namanya menjadi Pangeran Sukowati serta mengangkat pula beberapa pejabat Pemerintahan.
Karena secara geografis terletak di tepi Jalan Lintas Tentara Kompeni Surakarta – Madiun, pusat Pemerintahan tersebut dianggap kurang aman, maka kemudian sejak tahun 1746 dipindahkan ke Desa Gebang yang terletak disebelah tenggara Desa Pandak Karangnongko.
Sejak itu Pangeran Sukowati memperluas daerah kekuasaannya meliputi Desa Krikilan, Pakis, Jati, Prampalan, Mojoroto, Celep, Jurangjero, Grompol, Kaliwuluh, Jumbleng, Lajersari dan beberapa desa Lain.
Dengan daerah kekuasaan serta pasukan yang semakin besar Pangeran Sukowati terus menerus melakukan perlawanaan kepada Kompeni Belanda bahu membahu dengan saudaranya Raden Mas Said, yang berakhir dengan perjanjian Giyanti pada tahun 1755, yang terkenal dengan Perjanjian Palihan Negari, yaitu kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, dimana Pangeran Sukowati menjadi Sultan Hamengku Buwono ke-1 dan perjanjian Salatiga tahun 1757, dimana Raden Mas Said ditetapkan menjadi Adipati Mangkunegara I dengan mendapatkan separuh wilayah Kasunanan Surakarta.
Selanjutnya sejak tanggal 12 Oktober 1840 dengan Surat Keputusan Sunan Paku Buwono VII yaitu serat Angger – angger Gunung, daerah yang lokasinya strategis ditunjuk menjadi Pos Tundan, yaitu tempat untuk menjaga ketertiban dan keamanan Lalu Lintas Barang dan surat serta perbaikan jalan dan jembatan, termasuk salah satunya adalah Pos Tundan Sragen.
Perkembangan selanjutnya sejak tanggal 5 juni 1847 oleh Sunan Paku Buwono VIII dengan persetujuan Residen Surakarta baron de Geer ditambah kekuasaan yaitu melakukan tugas kepolisian dan karenanya disebut Kabupaten Gunung Pulisi Sragen. Kemudian berdasarkan Staatsblaad No 32 Tahun 1854, maka disetiap Kabupaten Gunung Pulisi dibentuk Pengadilan Kabupaten, dimana Bupati Pulisi menjadi Ketua dan dibantu oleh Kliwon, Panewu, Rangga dan Kaum.
Sejak tahun 1869, daerah Kabupaten Pulisi Sragen memiliki 4 ( empat ) Distrik, yaitu Distrik Sragen, Distrik Grompol, Distrik Sambungmacan dan Distrik Majenang.
Selanjutnya sejak Sunan Paku Buwono VIII dan seterusnya diadakan reformasi terus menerus dibidang Pemerintahan, dimana pada akhirnya Kabupaten Gunung Pulisi Sragen disempurnakan menjadi Kabupaten Pangreh Praja. Perubahan ini ditetapkan pada zaman Pemerintahan Paku Buwono X, Rijkblaad No. 23 Tahun 1918, dimana Kabupaten Pangreh Praja sebagai Daerah Otonom yang melaksanakan kekuasaan hukum dan Pemerintahan.
Dan Akhirnya memasuki Zaman Kemerdekaan Pemerintah Republik Indonesia , Kabupaten Pangreh Praja Sragen menjadi Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen.
Motto : Aman Sehat Rapi Indah (ASRI)
Provinsi : Jawa Tengah
Ibu kota : Sragen
Luas : 946,49 km²
Penduduk :
· Jumlah 860.000 (2003)
· Kepadatan 909 jiwa/km²
Pembagian administratif :
· Kecamatan 20
· Desa/kelurahan 208
Dasar hukum : UU No. 13/1950
Tanggal -
Bupati : Untung Wiyono
(periode ke-2)
Kode area telepon : 0271
DAU : Rp. 306.460.000.000
Kecamatan Di Sragen
01. Kalijambe
02. Plupuh
03. Masaran
04. Kedawung
05. Sambirejo
06. Gondang
07. Sambungmacan
08. Ngrampal
09. Karangmalang
10. Sragen
11. Sidoharjo
12. Tanon
13. Gemolong
15. Sumberlawang
16. Mondokan
17. Sukodono
19. Tangen
20. Jenar
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sragen
Sumber Gambar:
http://abjateng.net46.net/dati2.php?k=SRAGEN
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sragen
http://galery-sragen.blogspot.com/
http://galery-sragen.blogspot.com/
http://www.indonesiaindonesia.com/imagehosting/images/35321/1_sragen1.jpg
http://www.mahesajenar.com/2006/10/perjalanan_mudik.html
Potensi Ekonomi Kabupaten Sragen
Kabupaten Sragen merupakan kabupaten di Propinsi Jawa Tengah tempat ditemukannya fosil manusia purba, tepatnya di daerah Sangiran. Daerah ini dapat dikatakan sebagai daerah penyangga kota Surakarta. Produk-produk pertanian Kabupaten Sragen sebagian besar disuplai ke kota Surakarta.
Sektor pertanian cukup dominan bagi perekonomian Kabupaten Sragen. Sumbangannya terhadap PDRB daerah itu mencapai 41,09 persen. Beberapa produk pertanian, yaitu padi, kacang tanah, dan mangga, berperan cukup signifikan bagi produksi komoditi tersebut di tingkat Jawa Tengah. Bahkan jumlah produksi mangga Kabupaten Sragen merupakan yang terbesar di Jawa Tengah.
Untuk tanaman bahan pangan, komoditi andalannya adalah padi, ubi kayu, dan jagung. Sedangkan kacang tanah, meskipun merupakan andalan daerah ini di tingkat propinsi, namun jumlah produksinya bukan tiga besar. Produksi tiga jenis bahan pangan ini relatif merata di hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Sragen. Namun terdapat kecamatan dengan produksi masing-masing bahan pangan terbesar, yaitu Kecamatan Sidoharjo sebagai kecataman yang terbesar memproduksi padi, Kecamatan Mondokan adalah produsen terbesar ubi kayu, dan Kecamatan Sumberlawang sebagai produsen terbesar jagung di Kabupaten Sragen.
Untuk sayur-sayuran, komoditi andalannya adalah cabe, kacang panjang, dan terong. Namun produksinya tidak termasuk signifikan di tingkat Jawa Tengah.
Salah satu andalan daerah ini di tingkat propinsi adalah komoditi buah-buahan terutama mangga. Produksi mangga juga merupakan yang terbesar dibanding komoditi buah-buahan lainnya di Kabupaten ini. Komoditi andalan lainnya adalah pisang dan melon. Kecamatan andalan untuk produksi mangga adalah Sumberlawang, andalan untuk produksi pisang adalah Sidoharjo, dan andalan untuk produksi melon adalah Sambung Macan.
Pada subsektor perkebunan, komoditi andalan daerah ini adalah tebu. Produksinya mencapai 387 ribu ton. Kecamatan andalan tanaman tebu adalah Jenar dengan produksi 144 ribu ton, Tangen dengan produksi 62 ribu ton, dan Gesi 53 ribu ton. Ketiga kecamatan ini cocok dijadikan sebagai klaster perkebunan tebu.
Kabupetan Sragen juga menghasilkan berbagai produk peternakan. Populasi ternak yang cukup signifikan antara lain Sapi 77.748 ekor, Domba 70.714 ekor, Kambing 70.507, Ayam Ras 2.628.149 ekor, dan Ayam Kampung 715.131 ekor.
Selain pertanian, sektor andalan lainnya adalah sektor industri pengolahan. Mayoritas industri di daerah ini berskala kecil. Namun demikian, dilihat dari nilai produksi, industri besar mengumpulkan nilai produksi yang lebih besar.
Sumber:
http://www.cps-sss.org/web/home/kabupaten/kab/Kabupaten+Sragen
Sektor pertanian cukup dominan bagi perekonomian Kabupaten Sragen. Sumbangannya terhadap PDRB daerah itu mencapai 41,09 persen. Beberapa produk pertanian, yaitu padi, kacang tanah, dan mangga, berperan cukup signifikan bagi produksi komoditi tersebut di tingkat Jawa Tengah. Bahkan jumlah produksi mangga Kabupaten Sragen merupakan yang terbesar di Jawa Tengah.
Untuk tanaman bahan pangan, komoditi andalannya adalah padi, ubi kayu, dan jagung. Sedangkan kacang tanah, meskipun merupakan andalan daerah ini di tingkat propinsi, namun jumlah produksinya bukan tiga besar. Produksi tiga jenis bahan pangan ini relatif merata di hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Sragen. Namun terdapat kecamatan dengan produksi masing-masing bahan pangan terbesar, yaitu Kecamatan Sidoharjo sebagai kecataman yang terbesar memproduksi padi, Kecamatan Mondokan adalah produsen terbesar ubi kayu, dan Kecamatan Sumberlawang sebagai produsen terbesar jagung di Kabupaten Sragen.
Untuk sayur-sayuran, komoditi andalannya adalah cabe, kacang panjang, dan terong. Namun produksinya tidak termasuk signifikan di tingkat Jawa Tengah.
Salah satu andalan daerah ini di tingkat propinsi adalah komoditi buah-buahan terutama mangga. Produksi mangga juga merupakan yang terbesar dibanding komoditi buah-buahan lainnya di Kabupaten ini. Komoditi andalan lainnya adalah pisang dan melon. Kecamatan andalan untuk produksi mangga adalah Sumberlawang, andalan untuk produksi pisang adalah Sidoharjo, dan andalan untuk produksi melon adalah Sambung Macan.
Pada subsektor perkebunan, komoditi andalan daerah ini adalah tebu. Produksinya mencapai 387 ribu ton. Kecamatan andalan tanaman tebu adalah Jenar dengan produksi 144 ribu ton, Tangen dengan produksi 62 ribu ton, dan Gesi 53 ribu ton. Ketiga kecamatan ini cocok dijadikan sebagai klaster perkebunan tebu.
Kabupetan Sragen juga menghasilkan berbagai produk peternakan. Populasi ternak yang cukup signifikan antara lain Sapi 77.748 ekor, Domba 70.714 ekor, Kambing 70.507, Ayam Ras 2.628.149 ekor, dan Ayam Kampung 715.131 ekor.
Selain pertanian, sektor andalan lainnya adalah sektor industri pengolahan. Mayoritas industri di daerah ini berskala kecil. Namun demikian, dilihat dari nilai produksi, industri besar mengumpulkan nilai produksi yang lebih besar.
Sumber:
http://www.cps-sss.org/web/home/kabupaten/kab/Kabupaten+Sragen
Sejarah Berdiri Kabupaten Sragen
Pangeran Mangkubumi adik dari Sunan Pakubuwono II di Mataram sangat membenci Kolonialis Belanda. Apalagi setelah Belanda banyak mengintervensi Mataram sebagai Pemerintahan yang berdaulat. Oleh karena itu dengan tekad yang menyala bangsawan muda tersebut lolos dari istana dan menyatakan perang dengan Belanda. Dalam sejarah peperangan tersebut, disebut dengan Perang Mangkubumen ( 1746 - 1757 ). Dalam perjalanan perangnya Pangeran Muda dengan pasukannya dari Keraton bergerak melewati Desa-desa Cemara, Tingkir, Wonosari, Karangsari, Ngerang, Butuh, Guyang. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Desa Pandak, Karangnongko masuk tlatah Sukowati.
Di Desa ini Pangeran Mangkubumi membentuk Pemerintahan Pemberontak. Desa Pandak, Karangnongko di jadikan pusat Pemerintahan Projo Sukowati, dan Beliau meresmikan namanya menjadi Pangeran Sukowati serta mengangkat pula beberapa pejabat Pemerintahan.
Karena secara geografis terletak di tepi Jalan Lintas Tentara Kompeni Surakarta – Madiun, pusat Pemerintahan tersebut dianggap kurang aman, maka kemudian sejak tahun 1746 dipindahkan ke Desa Gebang yang terletak disebelah tenggara Desa Pandak Karangnongko.
Sejak itu Pangeran Sukowati memperluas daerah kekuasaannya meliputi Desa Krikilan, Pakis, Jati, Prampalan, Mojoroto, Celep, Jurangjero, Grompol, Kaliwuluh, Jumbleng, Lajersari dan beberapa desa Lain.
Dengan daerah kekuasaan serta pasukan yang semakin besar Pangeran Sukowati terus menerus melakukan perlawanaan kepada Kompeni Belanda bahu membahu dengan saudaranya Raden Mas Said, yang berakhir dengan perjanjian Giyanti pada tahun 1755, yang terkenal dengan Perjanjian Palihan Negari, yaitu kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, dimana Pangeran Sukowati menjadi Sultan Hamengku Buwono ke-1 dan perjanjian Salatiga tahun 1757, dimana Raden Mas Said ditetapkan menjadi Adipati Mangkunegara I dengan mendapatkan separuh wilayah Kasunanan Surakarta.
Selanjutnya sejak tanggal 12 Oktober 1840 dengan Surat Keputusan Sunan Paku Buwono VII yaitu serat Angger – angger Gunung, daerah yang lokasinya setrategis ditunjuk menjadi Pos Tundan,
yaitu tempat untuk menjaga ketertiban dan keamanan Lalu Lintas Barang dan surat serta perbaikan jalan dan jembatan, termasuk salah satunya adalah Pos Tundan Sragen.
Perkembangan selanjutnya sejak tanggal 5 juni 1847 oleh Sunan Paku Buwono VIII dengan persetujuan Residen Surakarta baron de Geer ditambah kekuasaan yaitu melakukan tugas kepolisian dan karenanya disebut Kabupaten Gunung Pulisi Sragen. Kemudian berdasarkan Staatsblaad No 32 Tahun 1854, maka disetiap Kabupaten Gunung Pulisi dibentuk Pengadilan Kabupaten, dimana Bupati Pulisi menjadi Ketua dan dibantu oleh Kliwon, Panewu, Rangga dan Kaum.
Sejak tahun 1869, daerah Kabupaten Pulisi Sragen memiliki 4 ( empat ) Distrik, yaitu Distrik Sragen, Distrik Grompol, Distrik Sambungmacan dan Distrik Majenang.
Selanjutnya sejak Sunan Paku Buwono VIII dan seterusnya diadakan reformasi terus menerus dibidang Pemerintahan, dimana pada akhirnya Kabupaten Gunung Pulisi Sragen disempurnakan menjadi Kabupaten Pangreh Praja. Perubahan ini ditetapkan pada jaman Pemerintahan Paku Buwono X, Rijkblaad No. 23 Tahun 1918, dimana Kabupaten Pangreh Praja sebagai Daerah Otonom yang melaksanakan kekuasaan hukum dan Pemerintahan.
Dan Akhirnya memasuki Zaman Kemerdekaan Pemerintah Republik Indonesia , Kabupaten Pangreh Praja Sragen menjadi Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen.
Sumber:
Tri Ari Wibowo
http://www.cahmborangan.co.cc/2009/08/sejarah-berdiri-kabupaten-sragen_11.html
11 Agustus 2009
Di Desa ini Pangeran Mangkubumi membentuk Pemerintahan Pemberontak. Desa Pandak, Karangnongko di jadikan pusat Pemerintahan Projo Sukowati, dan Beliau meresmikan namanya menjadi Pangeran Sukowati serta mengangkat pula beberapa pejabat Pemerintahan.
Karena secara geografis terletak di tepi Jalan Lintas Tentara Kompeni Surakarta – Madiun, pusat Pemerintahan tersebut dianggap kurang aman, maka kemudian sejak tahun 1746 dipindahkan ke Desa Gebang yang terletak disebelah tenggara Desa Pandak Karangnongko.
Sejak itu Pangeran Sukowati memperluas daerah kekuasaannya meliputi Desa Krikilan, Pakis, Jati, Prampalan, Mojoroto, Celep, Jurangjero, Grompol, Kaliwuluh, Jumbleng, Lajersari dan beberapa desa Lain.
Dengan daerah kekuasaan serta pasukan yang semakin besar Pangeran Sukowati terus menerus melakukan perlawanaan kepada Kompeni Belanda bahu membahu dengan saudaranya Raden Mas Said, yang berakhir dengan perjanjian Giyanti pada tahun 1755, yang terkenal dengan Perjanjian Palihan Negari, yaitu kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, dimana Pangeran Sukowati menjadi Sultan Hamengku Buwono ke-1 dan perjanjian Salatiga tahun 1757, dimana Raden Mas Said ditetapkan menjadi Adipati Mangkunegara I dengan mendapatkan separuh wilayah Kasunanan Surakarta.
Selanjutnya sejak tanggal 12 Oktober 1840 dengan Surat Keputusan Sunan Paku Buwono VII yaitu serat Angger – angger Gunung, daerah yang lokasinya setrategis ditunjuk menjadi Pos Tundan,
yaitu tempat untuk menjaga ketertiban dan keamanan Lalu Lintas Barang dan surat serta perbaikan jalan dan jembatan, termasuk salah satunya adalah Pos Tundan Sragen.
Perkembangan selanjutnya sejak tanggal 5 juni 1847 oleh Sunan Paku Buwono VIII dengan persetujuan Residen Surakarta baron de Geer ditambah kekuasaan yaitu melakukan tugas kepolisian dan karenanya disebut Kabupaten Gunung Pulisi Sragen. Kemudian berdasarkan Staatsblaad No 32 Tahun 1854, maka disetiap Kabupaten Gunung Pulisi dibentuk Pengadilan Kabupaten, dimana Bupati Pulisi menjadi Ketua dan dibantu oleh Kliwon, Panewu, Rangga dan Kaum.
Sejak tahun 1869, daerah Kabupaten Pulisi Sragen memiliki 4 ( empat ) Distrik, yaitu Distrik Sragen, Distrik Grompol, Distrik Sambungmacan dan Distrik Majenang.
Selanjutnya sejak Sunan Paku Buwono VIII dan seterusnya diadakan reformasi terus menerus dibidang Pemerintahan, dimana pada akhirnya Kabupaten Gunung Pulisi Sragen disempurnakan menjadi Kabupaten Pangreh Praja. Perubahan ini ditetapkan pada jaman Pemerintahan Paku Buwono X, Rijkblaad No. 23 Tahun 1918, dimana Kabupaten Pangreh Praja sebagai Daerah Otonom yang melaksanakan kekuasaan hukum dan Pemerintahan.
Dan Akhirnya memasuki Zaman Kemerdekaan Pemerintah Republik Indonesia , Kabupaten Pangreh Praja Sragen menjadi Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen.
Sumber:
Tri Ari Wibowo
http://www.cahmborangan.co.cc/2009/08/sejarah-berdiri-kabupaten-sragen_11.html
11 Agustus 2009
Batik Sragen Berobsesi Tembus Pasar Mancanegara
Orang mengenal sentra produsen batik di Jawa Tengah/DIY mungkin hanya terpaku di daerah Solo, Yogyakarta, Pekalongan, dan Lasem, padahal Kabupaten Sragen yang wilayahnya mencapai 941,55 km2 yang terbagi dalan 20 kecamatan, 8 kelurahan, dan 200 desa menyimpan potensi sebagai produsen batik yang kualitasnya tidak kalah dari daerah-daerah lain.
Industri batik di Sragen merupakan warisan leluhur yang sudah berusia kurang lebih 100 tahun.
Bicara tentang batik Sragen tak bisa dipisahkan dari Keraton Surakarta (Solo) yang merupakan pelopor pembuatan batik.
Penduduk Kabupaten Sragen yang wilayahnya berdekatan dengan Keraton Surakarta (Solo) — hanya dibatasi Sungai Bengawan Solo — ternyata banyak belajar dari seniman batik Solo. Berkat ketekunan dan keuletannya, penduduk Sragen hingga sekarang berhasil mengembangkan batik dengan ciri tersendiri. Â
Kabupaten Sragen hingga kini memiliki sebanyak 4.542 unit usaha batik tulis dengan jumlah perajin batik 12.353 orang yang tersebar di sentra-sentra industri batik di Kecamatan Plupuh, Masaran, dan Kalijambe. Khusus untuk Kecamatan Masaran ada 2.567 unit usaha batik yang mampu menyerap tenaga kerja 7.233 orang.
Perajin batik Sragen setiap bulan mampu memproduksi sebanyak 1.201.500 potong bahan batik untuk konsumsi pasar domestik seperti Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa, sedangkan pasar ekspor kini belum digarap optimal.
Para perajin batik Sragen hingga sekarang memang masih terpaku manggarap pasar domestik, sedangkan pasar ekspor belum tersentuh sama sekali.
“Kita memang berobsesi batik Sragen mampu menembus pasar mancanegara. Memang banyak turis yang menyukai batik Sragen, namun belum sampai pada taraf mengekspor,” kata Murdioko (51), perajin batik di Masaran Sragen, Jumat.
Pembatik di Sragen memang mayoritas hanya mengkhususkan diri membuat bahan batik yang disetorkan ke beberapa toko batik terkenal untuk dijadikan pakaian batik. Namun ada juga yang membuat pakaian batik. Mutu batik Sragen tak kalah dari daerah lain.
Produksi batik yang dibuat kalangan pembatik di Sragen antara lain batik cap, batik tulis, batik printing, dan cabut batik (kombinasi batik tulis dan batik cetak).
Kabupaten Sragen sejak dulu sudah dikenal sebagai daerah penghasil batik dengan ciri khas yang berbeda dari batik-batik di daerah lain sehingga produksi batik Sragen sangat diminati kalangan konsumen.
“Peluang investasi di industri batik masih terbuka luas untuk digarap para pengusaha antara lain dalam pengadaan bahan baku, pengembangan produksi, pelatihan, keterampilan, dan pemasaran produk,” kata Bupati Sragen, Untung Wiyono.
Ia mengatakan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen kini terus berupaya mengembangkan industri batik agar produksi batik Sragen bisa setara dengan batik Solo, batik Pekalongan, dan batik Lasem.
Selama ini batik Sragen memang tidak pernah terendus karena selalu kalah pamor dari batik Solo atau Yogyakarta karena begitu bicara batik, maka orang akan teringat kedua kota itu. Padahal, sebenarnya justru sentra batik tulis yang sebenarnya ada di kota Sragen.
Hanya saja, selama ini para perajin memang memilih memasok ke pasaran di Solo karena kebetulan ada Pasar Klewer. Karena itu terkenalnya batik Solo padahal itu produksi dari perajin di Sragen.
Di Solo sendiri memang banyak terdapat pabrikan batik. Tetapi kebanyakan batik printing, sedangkan perajin batik tulis kini sudah semakin jarang. Di samping kalah bersaing, pasaran juga lebih banyak dikuasai batik pabrikan. Masyarakat sendiri hanya mengenal batik. Tidak begitu memperhatikan batik tulis atau batik printing.
Potensi itulah yang diendus Bupati Sragen. Latar belakangnya sebagai pengusaha mengusiknya untuk memopulerkan batik Sragen, agar tidak semakin tenggelam karena kurang mendapat pasar.
“Jika bisa, kami ingin seperti sentra batik di Pekalongan. Begitu masuk ke wilayah kota itu, di pinggir jalan bisa dijumpai sentra galeri batik. Jadi sekaligus tempat itu bisa digunakan untuk wisata belanja khusus batik,” kata Bupati Sragen.
Bupati Sragen bekerja sama dengan para pengusaha tengah mengincar pasar ekspor, bukan sekadar pasar ritel. Karena itu kini diambil langkah mengontak ‘buyers’ di Malaysia, Thaliand, Filipina, dan Australia, yang diharapkan akan bisa menampung pasaran batik tulis Sragen.
Tidak hanya itu, hotel, dan travel biro yang biasa membawa turis asing ke Solo juga ditembus, untuk mengenalkan sentra batik Sragen tersebut. Semua potensi pasar dirambah untuk memperluas jaringan.
Bahkan, untuk meningkatkan mutu, corak, desain, dan usaha para perajin batik di Sragen maka lembaga nirlaba “Business Development Services” (BDS) Jaka Tingkir memberi pendampingan bagi kalangan pembatik di, Masaran, Kabupaten Sragen.
“Para pembatik di Masaran, Sragen sangat membutuhkan pendamping untuk mengembangkan usahanya. Mereka masih awam tentang informasi sehingga perlu diberi pendampingan,” kata pengelola BDS Jaka Tingkir Sragen, Suwanto.
Ia mengatakan, BDS Jaka Tingkir mempunyai hubungan erat dengan lembaga lain seperti PT Bank Jateng, Swisscontact, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
Jasa yang pernah dilakukan BDS meliputi pelayanan perizinan UKM di Klaster Batik Masaran, pelatihan batik cap di Pilang, dan Gedongan.
“Kita membantu akses permodalan ke lembaga keuangan, koperasi, bank, BUMN, termasuk memfasilitasi pameran di daerah, provinsi, dan tingkat nasional, termasuk memberi informasi pemasaran,” katanya.
Misi BDS Jaka Tingkir Sragen adalah mendampingi kalangan perajin batik Sragen dalam mengembangkan usaha, mengembalikan perajin dari urban untuk melakukan usaha sendiri, menjadi mediator antara pengusaha dengan pihak lain, dan membantu perajin mengatasi permasalahan usaha.
Umumnya, kata Suwanto, klien BDS Jaka Tingkir adalah usaha mikro masih dalam batasan wilayah Kecamatan Masaran dan Plupuh Kabupaten Sragen, namun dalam perkembangan tak membatasi wilayah sepanjang dibutuhkan klien, terutama para perajin batik di Sragen.
Semuanya itu diharapkan kelak bermuara pada pencapaian obsesi Sragen, yakni menembus pasar di luar negeri. ( ant/ Herry Soebanto )
Sumber:
http://beritasore.com/2007/05/26/batik-sragen-berobsesi-tembus-pasar-mancanegara/
26 Mei 2007
Industri batik di Sragen merupakan warisan leluhur yang sudah berusia kurang lebih 100 tahun.
Bicara tentang batik Sragen tak bisa dipisahkan dari Keraton Surakarta (Solo) yang merupakan pelopor pembuatan batik.
Penduduk Kabupaten Sragen yang wilayahnya berdekatan dengan Keraton Surakarta (Solo) — hanya dibatasi Sungai Bengawan Solo — ternyata banyak belajar dari seniman batik Solo. Berkat ketekunan dan keuletannya, penduduk Sragen hingga sekarang berhasil mengembangkan batik dengan ciri tersendiri. Â
Kabupaten Sragen hingga kini memiliki sebanyak 4.542 unit usaha batik tulis dengan jumlah perajin batik 12.353 orang yang tersebar di sentra-sentra industri batik di Kecamatan Plupuh, Masaran, dan Kalijambe. Khusus untuk Kecamatan Masaran ada 2.567 unit usaha batik yang mampu menyerap tenaga kerja 7.233 orang.
Perajin batik Sragen setiap bulan mampu memproduksi sebanyak 1.201.500 potong bahan batik untuk konsumsi pasar domestik seperti Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa, sedangkan pasar ekspor kini belum digarap optimal.
Para perajin batik Sragen hingga sekarang memang masih terpaku manggarap pasar domestik, sedangkan pasar ekspor belum tersentuh sama sekali.
“Kita memang berobsesi batik Sragen mampu menembus pasar mancanegara. Memang banyak turis yang menyukai batik Sragen, namun belum sampai pada taraf mengekspor,” kata Murdioko (51), perajin batik di Masaran Sragen, Jumat.
Pembatik di Sragen memang mayoritas hanya mengkhususkan diri membuat bahan batik yang disetorkan ke beberapa toko batik terkenal untuk dijadikan pakaian batik. Namun ada juga yang membuat pakaian batik. Mutu batik Sragen tak kalah dari daerah lain.
Produksi batik yang dibuat kalangan pembatik di Sragen antara lain batik cap, batik tulis, batik printing, dan cabut batik (kombinasi batik tulis dan batik cetak).
Kabupaten Sragen sejak dulu sudah dikenal sebagai daerah penghasil batik dengan ciri khas yang berbeda dari batik-batik di daerah lain sehingga produksi batik Sragen sangat diminati kalangan konsumen.
“Peluang investasi di industri batik masih terbuka luas untuk digarap para pengusaha antara lain dalam pengadaan bahan baku, pengembangan produksi, pelatihan, keterampilan, dan pemasaran produk,” kata Bupati Sragen, Untung Wiyono.
Ia mengatakan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen kini terus berupaya mengembangkan industri batik agar produksi batik Sragen bisa setara dengan batik Solo, batik Pekalongan, dan batik Lasem.
Selama ini batik Sragen memang tidak pernah terendus karena selalu kalah pamor dari batik Solo atau Yogyakarta karena begitu bicara batik, maka orang akan teringat kedua kota itu. Padahal, sebenarnya justru sentra batik tulis yang sebenarnya ada di kota Sragen.
Hanya saja, selama ini para perajin memang memilih memasok ke pasaran di Solo karena kebetulan ada Pasar Klewer. Karena itu terkenalnya batik Solo padahal itu produksi dari perajin di Sragen.
Di Solo sendiri memang banyak terdapat pabrikan batik. Tetapi kebanyakan batik printing, sedangkan perajin batik tulis kini sudah semakin jarang. Di samping kalah bersaing, pasaran juga lebih banyak dikuasai batik pabrikan. Masyarakat sendiri hanya mengenal batik. Tidak begitu memperhatikan batik tulis atau batik printing.
Potensi itulah yang diendus Bupati Sragen. Latar belakangnya sebagai pengusaha mengusiknya untuk memopulerkan batik Sragen, agar tidak semakin tenggelam karena kurang mendapat pasar.
“Jika bisa, kami ingin seperti sentra batik di Pekalongan. Begitu masuk ke wilayah kota itu, di pinggir jalan bisa dijumpai sentra galeri batik. Jadi sekaligus tempat itu bisa digunakan untuk wisata belanja khusus batik,” kata Bupati Sragen.
Bupati Sragen bekerja sama dengan para pengusaha tengah mengincar pasar ekspor, bukan sekadar pasar ritel. Karena itu kini diambil langkah mengontak ‘buyers’ di Malaysia, Thaliand, Filipina, dan Australia, yang diharapkan akan bisa menampung pasaran batik tulis Sragen.
Tidak hanya itu, hotel, dan travel biro yang biasa membawa turis asing ke Solo juga ditembus, untuk mengenalkan sentra batik Sragen tersebut. Semua potensi pasar dirambah untuk memperluas jaringan.
Bahkan, untuk meningkatkan mutu, corak, desain, dan usaha para perajin batik di Sragen maka lembaga nirlaba “Business Development Services” (BDS) Jaka Tingkir memberi pendampingan bagi kalangan pembatik di, Masaran, Kabupaten Sragen.
“Para pembatik di Masaran, Sragen sangat membutuhkan pendamping untuk mengembangkan usahanya. Mereka masih awam tentang informasi sehingga perlu diberi pendampingan,” kata pengelola BDS Jaka Tingkir Sragen, Suwanto.
Ia mengatakan, BDS Jaka Tingkir mempunyai hubungan erat dengan lembaga lain seperti PT Bank Jateng, Swisscontact, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
Jasa yang pernah dilakukan BDS meliputi pelayanan perizinan UKM di Klaster Batik Masaran, pelatihan batik cap di Pilang, dan Gedongan.
“Kita membantu akses permodalan ke lembaga keuangan, koperasi, bank, BUMN, termasuk memfasilitasi pameran di daerah, provinsi, dan tingkat nasional, termasuk memberi informasi pemasaran,” katanya.
Misi BDS Jaka Tingkir Sragen adalah mendampingi kalangan perajin batik Sragen dalam mengembangkan usaha, mengembalikan perajin dari urban untuk melakukan usaha sendiri, menjadi mediator antara pengusaha dengan pihak lain, dan membantu perajin mengatasi permasalahan usaha.
Umumnya, kata Suwanto, klien BDS Jaka Tingkir adalah usaha mikro masih dalam batasan wilayah Kecamatan Masaran dan Plupuh Kabupaten Sragen, namun dalam perkembangan tak membatasi wilayah sepanjang dibutuhkan klien, terutama para perajin batik di Sragen.
Semuanya itu diharapkan kelak bermuara pada pencapaian obsesi Sragen, yakni menembus pasar di luar negeri. ( ant/ Herry Soebanto )
Sumber:
http://beritasore.com/2007/05/26/batik-sragen-berobsesi-tembus-pasar-mancanegara/
26 Mei 2007
Solo Vs Sragen
Tentu saja, potret tak bisa menghadirkan tafsir, dari selain momen yang terjepret. Seperti halnya kata yang tak bisa menghadirkan dialektika dan realita. Namun apa, yang tersisa selain potret, juga kata?
Adalah sepetak ruang berbatas geografis, yang memiliki anasir sejarah, sehingga beberapa manusia bisa berteriak lantang : “Kami orang Sragen!”. Atau kemudian beberapa mahasiswa kreatif me-mlesetkannya dengan sebutan “Sragen-tina”, yang langsung mengingatkan pecinta sepak bola kepada Lionel Messi.
Memang, kemudian kota yang berbatas langsung dengan Jawa Timur itu, dinamai Sragen. Pemda setempat, melalui Perda Nomor : 4 Tahun 1987, menetapkan hari Selasa Pon, tanggal 27 Mei 1746, sebagai hari jadi kota. Dari hasil penelitian serta kajian pada fakta sejarah, tanggal dan waktu tersebut [dianggap] adalah ketika Pangeran Mangkubumi -yang kelak menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono (ke-) I- menancapkan tonggak pertama melakukan perlawanan terhadap Belanda, demi maujudnya sebuah bangsa yang berdaulat dengan membentuk suatu Pemerintahan lokal di Desa Pandak, Karangnongko masuk tlatah Sukowati sebelah timur.
Waktu itu mungkin Sragen belum mengenal akses internet, apalagi hotspot. Tetapi, lebih kurang 3 abad terlalui kemudian, Sragen telah terbiasa menggunakan istilah “one stop service”. Ketika kemudian Sragen harus berkelindan dengan dinamika Demografi, yang selalu identik dengan peningkatan jumlah, tetapi dalam satuan waktu yang tak bisa mulur-mungkret. Maka dari itu, kecepatan dan percepatan adalah sesuatu yang kemudian didepankan.
Ya, memasuki gedung layanan publik Pemkab Sragen, mengesankan suasana kantor Bank. Sragen menyediakan layanan singkat waktu, juga singkat jarak, seperti pil APC-nya Andrea Hirata, yang oleh warga Belitong, dipercaya bisa menyembuhkan segala penyakit. Sragen membasiskan dirinya dengan IT [Informatical Technology}, yang masih mempesonakan, melalui kecepatan dan percepatan yang disediakannya. Sragen, dalam hal ini, mengedepankan rasionalitas tujuan, yang ditolak oleh Jurgen Habermas.
Sementara itu, tak begitu jauh dari Sragen, terbentang batas geografis lain, yang ternamai Solo [Surakarta]. Kota yang mem-brand¬-kan dirinya “The Spirit of Java”, merupakan kota dengan sejarah yang masih mengakar sebagai modal budaya, dan masih tersisa sampai kurun waktu sekarang ini. Sejarah solo, adalah cerita tentang kerajaan, yang katanya feodalistik. Dan tanggal 16 Juni, merupakan hari jadi Pemerintah Kota Surakarta. Menurut cerita, pada 16 Juni 1946 terbentuk Pemerintah Daerah Kota Surakarta, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sekaligus menghapus kekuasaan Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran.
Meskipun demikikan, ritual-ritual warisan keraton, yang melibatkan begitu banyak manusia, masih diikuti dengan antusias dan belum dianggap profan [terlihat disini, bahwa legitimasi kekuasaan tak bisa menyentuh keimanan. Karena keimanan tak bisa dilepaskan dari subjeknya, manusia. Dan tak ada manusia tanpa archetype, tanpa keterlanjuran sejarah dan budaya].
Beberapa waktu yang lalu, Solo menggelar pemindahan sekitar 989 Pedagang Kaki Lima [PKL] Monjari ke pasar Klithikan Notoharjo Semanggi. Pemindahan PKL dari tempat lama ke tempat baru itu, diarak dengan kirab prajurit keraton, diiringi kereta keraton ditonton oleh –kurang lebih- 400.000 pasang mata. Dengan membawa tumpeng masing-masing, banyak bibir PKL menyunggingkan senyum. Arak-arakan itu, mengidentikkan dirinya dengan Sekatenan. Mungkin Solo, melalui Joko Widodo, begitu menghargai ketertanaman warisan nilai-nilai yang masih menyisakan bianglala keimanan.
Pun Solo, dalam hal ini mengedepankan rasionalitas komunikasi a la Jurgen Habermas. Karena sebelum Sekatenan dadakan itu digelar, telah 54 kali Joko Widodo mengajak para PKL makan bersama di kediaman dinasnya. Meskipun, tidak ada jaminan apa-apa, bahwa Joko Widodo, setidaknya, pernah membaca pemaparan tentang Habermas, oleh Frans Budi Hardiman.
Sebagaimana Martin Heidegger mengatakan bahwa manusia sudah selalu terlempar ke dunia, sehingga manusia tak bisa menghindari keterkutukannya sebagai subyek yang tak dapat melepaskan diri dari dunia, bahwa manusia adalah enggaged agency, pelaku yang telah selalu terlibat dalam dunia tertentu. Terkait dengan tesis Heidegger tersebut, maka manusia tak bisa menghindar dari kebutuhan-kebutuhan, baik yang bersifat alamiah maupun yang “terpaksa”. Dalam ilustrasi kecil, sesaat setelah terlahir, manusia harus segera disusukan kepada ibunya, dan baru beberapa hari kemudian dimintakan akta kelahiran.
Dalam potret Solo, terlihat bahwa regulasi yang diajukan lebih kepada pem-fasilitasan pemenuhan kebutuhan manusia sebagai makhluk hidup. Manusia [sebagai makhluk hidup] yang membutuhkan pemenuhan atas rasa laparnya, atas kebutuhannya akan nutrisi, gizi, dan sebagainya, di manapun dia berada.
Sedangkan di Sragen, bertolak dari adanya kebutuhan manusia sebagai konsekuensi atas keterlemparannya di dunia. Manusia yang selalu terlahir dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dan secara kebetulan, konteks tersebut mewajibkan beberapa kebutuhan kepadanya. Manusia sebagai warga negara, penduduk. Sragen sebagai pihak yang “memaksakan” kebutuhan terhadap penduduknya, menyadari posisinya, sehingga terkesan segan untuk menyita lebih banyak, yang akan mengganggu upaya penduduk untuk memenuhi kebutuhan yang lebih “dibutuhkan”.
Dengan demikian, apa yang terjadi di Solo bisa dikatakan berbeda, dengan apa yang terjadi di Sragen. Kedua regulasi tersebut berbeda, karena memang bertolak dari masalah yang berbeda, meskipun di sisi lain berkaitan dengan hal yang sama. Kedua regulasi tersebut berkaitan dengan manusia banyak [massa], tetapi dalam perannya yang berbeda. Manusia yang satu, tetapi satu yang terdiri dari beberapa, yang terikat oleh seutas tali ruang dan waktu.
Setidaknya menurut saya, belum ada kalimat yang lebih tepat untuk menyebut kedua hal tersebut sebagai hasrat untuk melipat kebutuhan, rentang jarak, ruang dan waktu; melipat dunia, dan juga hasrat akan sebuah kondisi keteraturan.
Di sinilah, yang semakin memantapkan saya, bahwa menentukan sebuah policy, harus pertama kali mempertanyakan “apa”, tanpa meringkasnya menjadi sekedar “bagaimana”.
Sumber:
http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/26/solo-vs-sragen/
28 Maret 2010
Adalah sepetak ruang berbatas geografis, yang memiliki anasir sejarah, sehingga beberapa manusia bisa berteriak lantang : “Kami orang Sragen!”. Atau kemudian beberapa mahasiswa kreatif me-mlesetkannya dengan sebutan “Sragen-tina”, yang langsung mengingatkan pecinta sepak bola kepada Lionel Messi.
Memang, kemudian kota yang berbatas langsung dengan Jawa Timur itu, dinamai Sragen. Pemda setempat, melalui Perda Nomor : 4 Tahun 1987, menetapkan hari Selasa Pon, tanggal 27 Mei 1746, sebagai hari jadi kota. Dari hasil penelitian serta kajian pada fakta sejarah, tanggal dan waktu tersebut [dianggap] adalah ketika Pangeran Mangkubumi -yang kelak menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono (ke-) I- menancapkan tonggak pertama melakukan perlawanan terhadap Belanda, demi maujudnya sebuah bangsa yang berdaulat dengan membentuk suatu Pemerintahan lokal di Desa Pandak, Karangnongko masuk tlatah Sukowati sebelah timur.
Waktu itu mungkin Sragen belum mengenal akses internet, apalagi hotspot. Tetapi, lebih kurang 3 abad terlalui kemudian, Sragen telah terbiasa menggunakan istilah “one stop service”. Ketika kemudian Sragen harus berkelindan dengan dinamika Demografi, yang selalu identik dengan peningkatan jumlah, tetapi dalam satuan waktu yang tak bisa mulur-mungkret. Maka dari itu, kecepatan dan percepatan adalah sesuatu yang kemudian didepankan.
Ya, memasuki gedung layanan publik Pemkab Sragen, mengesankan suasana kantor Bank. Sragen menyediakan layanan singkat waktu, juga singkat jarak, seperti pil APC-nya Andrea Hirata, yang oleh warga Belitong, dipercaya bisa menyembuhkan segala penyakit. Sragen membasiskan dirinya dengan IT [Informatical Technology}, yang masih mempesonakan, melalui kecepatan dan percepatan yang disediakannya. Sragen, dalam hal ini, mengedepankan rasionalitas tujuan, yang ditolak oleh Jurgen Habermas.
Sementara itu, tak begitu jauh dari Sragen, terbentang batas geografis lain, yang ternamai Solo [Surakarta]. Kota yang mem-brand¬-kan dirinya “The Spirit of Java”, merupakan kota dengan sejarah yang masih mengakar sebagai modal budaya, dan masih tersisa sampai kurun waktu sekarang ini. Sejarah solo, adalah cerita tentang kerajaan, yang katanya feodalistik. Dan tanggal 16 Juni, merupakan hari jadi Pemerintah Kota Surakarta. Menurut cerita, pada 16 Juni 1946 terbentuk Pemerintah Daerah Kota Surakarta, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sekaligus menghapus kekuasaan Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran.
Meskipun demikikan, ritual-ritual warisan keraton, yang melibatkan begitu banyak manusia, masih diikuti dengan antusias dan belum dianggap profan [terlihat disini, bahwa legitimasi kekuasaan tak bisa menyentuh keimanan. Karena keimanan tak bisa dilepaskan dari subjeknya, manusia. Dan tak ada manusia tanpa archetype, tanpa keterlanjuran sejarah dan budaya].
Beberapa waktu yang lalu, Solo menggelar pemindahan sekitar 989 Pedagang Kaki Lima [PKL] Monjari ke pasar Klithikan Notoharjo Semanggi. Pemindahan PKL dari tempat lama ke tempat baru itu, diarak dengan kirab prajurit keraton, diiringi kereta keraton ditonton oleh –kurang lebih- 400.000 pasang mata. Dengan membawa tumpeng masing-masing, banyak bibir PKL menyunggingkan senyum. Arak-arakan itu, mengidentikkan dirinya dengan Sekatenan. Mungkin Solo, melalui Joko Widodo, begitu menghargai ketertanaman warisan nilai-nilai yang masih menyisakan bianglala keimanan.
Pun Solo, dalam hal ini mengedepankan rasionalitas komunikasi a la Jurgen Habermas. Karena sebelum Sekatenan dadakan itu digelar, telah 54 kali Joko Widodo mengajak para PKL makan bersama di kediaman dinasnya. Meskipun, tidak ada jaminan apa-apa, bahwa Joko Widodo, setidaknya, pernah membaca pemaparan tentang Habermas, oleh Frans Budi Hardiman.
Sebagaimana Martin Heidegger mengatakan bahwa manusia sudah selalu terlempar ke dunia, sehingga manusia tak bisa menghindari keterkutukannya sebagai subyek yang tak dapat melepaskan diri dari dunia, bahwa manusia adalah enggaged agency, pelaku yang telah selalu terlibat dalam dunia tertentu. Terkait dengan tesis Heidegger tersebut, maka manusia tak bisa menghindar dari kebutuhan-kebutuhan, baik yang bersifat alamiah maupun yang “terpaksa”. Dalam ilustrasi kecil, sesaat setelah terlahir, manusia harus segera disusukan kepada ibunya, dan baru beberapa hari kemudian dimintakan akta kelahiran.
Dalam potret Solo, terlihat bahwa regulasi yang diajukan lebih kepada pem-fasilitasan pemenuhan kebutuhan manusia sebagai makhluk hidup. Manusia [sebagai makhluk hidup] yang membutuhkan pemenuhan atas rasa laparnya, atas kebutuhannya akan nutrisi, gizi, dan sebagainya, di manapun dia berada.
Sedangkan di Sragen, bertolak dari adanya kebutuhan manusia sebagai konsekuensi atas keterlemparannya di dunia. Manusia yang selalu terlahir dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dan secara kebetulan, konteks tersebut mewajibkan beberapa kebutuhan kepadanya. Manusia sebagai warga negara, penduduk. Sragen sebagai pihak yang “memaksakan” kebutuhan terhadap penduduknya, menyadari posisinya, sehingga terkesan segan untuk menyita lebih banyak, yang akan mengganggu upaya penduduk untuk memenuhi kebutuhan yang lebih “dibutuhkan”.
Dengan demikian, apa yang terjadi di Solo bisa dikatakan berbeda, dengan apa yang terjadi di Sragen. Kedua regulasi tersebut berbeda, karena memang bertolak dari masalah yang berbeda, meskipun di sisi lain berkaitan dengan hal yang sama. Kedua regulasi tersebut berkaitan dengan manusia banyak [massa], tetapi dalam perannya yang berbeda. Manusia yang satu, tetapi satu yang terdiri dari beberapa, yang terikat oleh seutas tali ruang dan waktu.
Setidaknya menurut saya, belum ada kalimat yang lebih tepat untuk menyebut kedua hal tersebut sebagai hasrat untuk melipat kebutuhan, rentang jarak, ruang dan waktu; melipat dunia, dan juga hasrat akan sebuah kondisi keteraturan.
Di sinilah, yang semakin memantapkan saya, bahwa menentukan sebuah policy, harus pertama kali mempertanyakan “apa”, tanpa meringkasnya menjadi sekedar “bagaimana”.
Sumber:
http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/26/solo-vs-sragen/
28 Maret 2010
Di Sragen, Bikin KTP hanya Satu Menit
Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo saat melakukan kunjungan kerja di Kabupaten Sragen (22/9) lalu, tertarik dengan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang hanya butuh waktu satu menit.
Dengan antusias, orang nomor satu di Jawa Tengah itu langsung menuju ke ruang pembuatan kartu identitas di Badan Pelayanan Terpadu (BPT).
Gubernur langsung duduk di depan kamera untuk difoto dengan sistem komputerisasi. Dalam sekejap, fotonya sudah bisa dicetak di KTP yang memuat pula data-data pribadi. ''Weh, kok iso cepet yo? (Wah kok bisa cepat ya?),'' kata Bibit Waluyo.
Bupati Sragen, Untung Wiyono yang saat itu didampingi Kepala BPT, Maksun Isnadi dan tamu undangan menjelaskan, kinerja sistem pembuatan KTP dengan teknologi komputerisasi.
Setelah menerima penjelasan, Gubernur menanyakan mengapa kabupaten yang lain tidak mencontoh Sragen. ''Yen niru apik ora apa-apa. Ora perlu isin. (Kalau meniru yang baik tidak apa-apa, tidak perlu malu),'' kata Gubernur dengan logat jawa.
Lebih lanjut Bupati Untung menjelaskan sudah banyak kabupaten/kota di Jateng maupun tanah air yang sudah melakukan studi banding mengenai Sistem Pelayanan Satu Atap, termasuk pembuatan KTP elektronik langsung jadi. ''Untuk pembuatan KTP elektronik, sudah bisa ditangani di 20 kecamatan,'' paparnya kemudian.
BPT melayani 25 perijinan dalam pelayanan satu atap yang ditangani cepat, tepat, transparan, dan murah. Salah satu diantaranya adalah pelayanan pembuatan KTP elektronik. Sejumlah kelurahan juga dipersiapkan untuk bisa melayani pembuatan KTP langsung jadi. Bibit Waluyo mengaku puas dengan kinerja BPT Sragen. Dia berharap setiap kabupaten di Jawa Tengah ada semacam BPT seperti di Sragen.
Gubernu r juga menanyakan biaya peralatan pembuatan KTP elektronik dan pelatihan untuk menyiapkan SDM-nya. Bupati Untung menjelaskan biayanya sangat murah.
''Sekitar 50an juta lebih sedikit. Sangat murah Pak Gub,'' jelas Bupati. Sejumlah tenaga ahli BPT dan Pusat Data Elektronik (PDE) Sragen siap diperbantukan di kabupaten/kota untuk memasang fasilitas pembuatan KTP elektronik.
Sel ain mengunjungi BPT, Gubernur beserta rombongan juga berkenan membuka Bazar Kreativitas Sragen 2008, pembangunan Techno Park (Taman Teknologi), dan meresmikan SPBU Nglangon yang dikelola Pemda Sragen. (evi/flo/id)
Sumber:
http://www.endonesia.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=21&artid=2044
24 September 2008
Dengan antusias, orang nomor satu di Jawa Tengah itu langsung menuju ke ruang pembuatan kartu identitas di Badan Pelayanan Terpadu (BPT).
Gubernur langsung duduk di depan kamera untuk difoto dengan sistem komputerisasi. Dalam sekejap, fotonya sudah bisa dicetak di KTP yang memuat pula data-data pribadi. ''Weh, kok iso cepet yo? (Wah kok bisa cepat ya?),'' kata Bibit Waluyo.
Bupati Sragen, Untung Wiyono yang saat itu didampingi Kepala BPT, Maksun Isnadi dan tamu undangan menjelaskan, kinerja sistem pembuatan KTP dengan teknologi komputerisasi.
Setelah menerima penjelasan, Gubernur menanyakan mengapa kabupaten yang lain tidak mencontoh Sragen. ''Yen niru apik ora apa-apa. Ora perlu isin. (Kalau meniru yang baik tidak apa-apa, tidak perlu malu),'' kata Gubernur dengan logat jawa.
Lebih lanjut Bupati Untung menjelaskan sudah banyak kabupaten/kota di Jateng maupun tanah air yang sudah melakukan studi banding mengenai Sistem Pelayanan Satu Atap, termasuk pembuatan KTP elektronik langsung jadi. ''Untuk pembuatan KTP elektronik, sudah bisa ditangani di 20 kecamatan,'' paparnya kemudian.
BPT melayani 25 perijinan dalam pelayanan satu atap yang ditangani cepat, tepat, transparan, dan murah. Salah satu diantaranya adalah pelayanan pembuatan KTP elektronik. Sejumlah kelurahan juga dipersiapkan untuk bisa melayani pembuatan KTP langsung jadi. Bibit Waluyo mengaku puas dengan kinerja BPT Sragen. Dia berharap setiap kabupaten di Jawa Tengah ada semacam BPT seperti di Sragen.
Gubernu r juga menanyakan biaya peralatan pembuatan KTP elektronik dan pelatihan untuk menyiapkan SDM-nya. Bupati Untung menjelaskan biayanya sangat murah.
''Sekitar 50an juta lebih sedikit. Sangat murah Pak Gub,'' jelas Bupati. Sejumlah tenaga ahli BPT dan Pusat Data Elektronik (PDE) Sragen siap diperbantukan di kabupaten/kota untuk memasang fasilitas pembuatan KTP elektronik.
Sel ain mengunjungi BPT, Gubernur beserta rombongan juga berkenan membuka Bazar Kreativitas Sragen 2008, pembangunan Techno Park (Taman Teknologi), dan meresmikan SPBU Nglangon yang dikelola Pemda Sragen. (evi/flo/id)
Sumber:
http://www.endonesia.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=21&artid=2044
24 September 2008
Langganan:
Postingan (Atom)